Salah satu Kang Santri wajib militer mengeluhkan rahang kanannya yang
sakit saat digunakan mengunyah makanan. Tanpa dikomando, Man Karto
memejamkan matanya, dan beberapa menit kemudian membuka mata.
"Cung,
ambilah ketimun (mentimun) di kebun, cuci bersih, lalu keroklah isinya
dan campurlah dengan gula kelapa atau gula aren. Sebelum kau minum,
aduklah dulu, suapaya gulanya larut dengan air ketimun (mentimun) itu.
Sesungguhnya kamu sedang panas dalam," begitu Man Karto menasihati Kang
Santri yang sedang wajib militer.
Dengan agak ragu, Kang
Santri melangkahkan kaki menuju kebun padepokan. Dia membatin, "Rahang
yang sakit, kenapa dibilang sakit panas dalam?"
Masih
dalam keraguannya, Kang Santri memetik sembilan buah ketimun di kebun.
Ia tak langsung kembali ke hadapan Man Karto. Rahang dan panas dalam
tetap menjadi lamunannya. Tiba-tiba, seekor ayam mendekat dan memandangi
ketimun di tangan Kang Santri, layaknya pengemis di depan pintu rumah
menadahkan telapak tangan. Kang Santri mengusirnya. "Aneh juga, ada ayam
minta ketimun," Kang Santri menggerutu.
Di dapur
Padepokan, Kang Santri mencampur isi ketimun dengan gula aren di dalam
gelas. Sambil mengaduk dua makanan itu, Kang Santri berjalan menuju
tempat Man Karto yang sedang duduk di tepi joglo Pedepokan.
"Kalau
sudah tercampur, minumlah pelan-pelan. Jangan panik jika terasa aneh
bagi lidahmu. Nanti bisa muntah kalau panik. Dasar orang kota. Rasakan
saja seperti es campur yang lezat," Man Karto tersenyum kemudian
mengisab rokok kreteknya.
Kang Santri terlihat menahan
keanehan dari rasa ketimun yang tercampur gula aren. Matanya sedikit
berair. Maklum, dia tidak biasa minum jamu tradisional. Padahal, jamu
itu sangat nikmat bagiku dan beberapa teman yang lain. Jika engkau
terbiasa mengisap gula aren, pasti dicampur ketimun akan semakin segar.
Jika tak percaya, coba saja, di perut terasa adem.
"Tidak
perlu kau pikirkan hubungan rahang sakit dan panas dalam. Pikiranmu
tidak akan mampu melogikakan, kecuali kamu sudah mencapai tauhid yang
sejati," Man Karto masih menyunggingkan senyum beserta seisab rokok
kretek yang hampir puntung.
Mata Kang Santri membelalak,
tak percaya dengan kalimat-kalimat Man Karto. Aku dan teman-teman yang
sedari tadi duduk melingkar di samping Man Karto tertawa melihat tingkah
Kang Santri.
"Wajib militer itu memiliki arti disiplin
terhadap diri sendiri, berpikir seluas mungkin, bahkan sedetail mungkin,
sehingga kamu tidak mudah heran dengan semua gejala keduniaan. Tak
peduli kamu hanya sarjana ekonomi, masalah yang berkaitan dengan
biologi, fisika, kimia, sosial, politik, budaya, bahkan seni juga harus
dipelajari meskipun hanya sekadar filosofinya saja. Jangan cengeng!
Suatu saat, kamu akan menemukan segala keilmuan dengan tingkatan yang
sesuai dengan kekuatanmu berpikir dan memanfaatkan akal yang
dikaruniakan Allah kepadamu," Man Karto mematikan rokok kreteknya,
kemudian menyeruput kopi di samping kanannya.
0 komentar: