Mengukur Rasionalitas Kita

Gidal: Orang kok hidupnya selalu dalam hitungan weton, sangat tidak rasional.

Man Karto: Tidak perlu menyalahkan orang yang berbeda pengetahuan dan keyakinan dengamu. Sebab, belum tentu yang kamu ketahui dan yakini itu lebih baik. Wong kamu juga tidak tahu dan mengerti betul apa alasannya kamu melakukan sebuah perbuatan, kecuali hanya berdasarkan "katanya" atau mencontoh orang lain. Jika kamu solat itu, apakah sudah tahu betul bahwa semua gerak dan bacaan solat kamu itu benar dan betul? Kamu kan mengetahui dari orang lain, gurumu, lalu kamu yakini begitu saja. Apakah kamu pernah melakukan tahrij atas hadis-hadis yang membicarakan tentang gerakan dan bacaan solat itu? Kalau pun pernah juga pasti menggunakan metode orang-orang dulu yang sesungguhnya masih mengandung perdebatan. Kamu kan menyangka bahwa pengetahuanmu itu sudah benar dan betul. Lalu, yang kamu anggap rasional dalam menjalankan hidup itu bagaimana?

Gidal: Ya, yang di dasarkan pada kajian ilmiah, Man.

Man Karto: Lho, yang kamu maksud ilmiah itu bagaimana? Kamu juga tidak pernah tahu sesungguhnya siapa yang menciptakan hari Minggu, dan kamu selalu ikut libur kerja setiap hari itu. Mengapa kok diliburkan? Apa ada alasan ilmiah yang menyebabkan hari Minggu itu harus libur? Kamu itu sok rasional seperti orang yang mendaku modernis, sehingga selalu menganggap pengetahuan dari nenek moyang itu tidak rasional dan tidak ilmiah. Padahal, hari Minggu itu juga barang kuno berabad-abad lalu, dan lahir dari kepercayaan terhadap Dewa Matahari, maka disebutnya Sun-day.

Gidal: Jadi, sebenarnya weton itu juga rasional, Man?

Man Karto: Yo..., tergantung pengetahuanmu. Jika kamu tidak pernah mau mempelajari sejarah dan maksud atau makna sesungguhnya yang terkandung dari suatu istilah yang menjadi tanda, kamu pasti mempersempit pandangan terhadapnya, bahkan tiba-tiba menganggapnya tidak rasional tanpa alasan yang jelas.

Gidal: Lho, tetapi mengapa penggunaan weton selalu dihubungkan dengan perhitungan nasip sebuah peristiwa?

Man Karto: Makanya, kamu mesti pelajari dulu sebelum menyalahkan orang. Setiap gerakan bumi dan alam semesta itu sesungguhnya terukur, sebagaimana firman Allah: Dia Pemilik kerajaan langit dan bumi. Dia tidak memiliki anak laki-laki, dan Dia tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya. Dia menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan cara yang tepat (QS. Al-Furqan, 2). Pertanyaannya, siapa yang mau mengetahui ukuran-ukuran itu? Yo..., tinggal kamu mau belajar atau tidak? Coba kamu perhatikan, mengapa kebanyakan orang Islam menikah di bulan Syawal dan Dzulhijjah? Sebab, ada hadis dari Rasulullah yang menganjurkan di kedua bulan itu. Lalu, apa alasannya Rasulullah menyarankan di kedua bulan tersebut? Paling-paling hanya disebut bahwa bulan itu adalah bulan baik. Lha, kebaikan bulan itu diketahui dari mana? Apa bedanya dengan bulan yang lain? Bukankah Ramadhan adalah bulan penuh kebaikan? Mengapa bukan Ramadhan saja? Tentu saja, Rasulullah yang mengetahui hitungan-hitungan itu.

Gidal: Kita yakin dengan pengetahuan itu, sebab Rasul sendiri yang menyampaikan. Kalau weton kan tidak jelas, siapa yang menyampaikan atau mengajarkan.

Man Karto: Dari mana kamu mengetahui bahwa hadis itu benar-benar dari Rasulullah? Kan cuma katanya. Itu hanya masalah keyakinan bahwa sesuatu itu datang dari Allah atu Rasulullah. Wong pengetahuanmu itu juga tetap "katanya", bukan menyaksikan sendiri. Seandainya ternyata masalah hitungan weton itu juga berasal dari Rasulullah, apakah kamu percaya begitu saja? Apakah kamu berpikir semua kehidupan Rasulullah puluhan tahun itu sudah terekam dalam hadis yang jumlahnya puluhan ribu itu? Apakah kamu sudah membaca semua hadis yang puluhan ribu itu? Berapa ribu yang disortir dan digunakan untuk pegangan umat Islam? Berpikirlah yang luas dan mendalam, supaya kamu tidak mudah terjebak kepada "amarah" yang tidak kamu ketahui sendiri dari mana asalnya?

Gidal: Mana hadisnya, Man?
 
Man Karto: Wong kamu belajar Matematika juga gak pakai hadis, kenapa bertanya hadis?

0 komentar: